Pulau Sumatera sejak awal Masehi telah dikenal dan sering dijadikan jalur lintas bagi kawasan disekitarnya, yakni kawasan Asia Timur dan Asia Selatan. Dari kawasan Asia Selatan hubungan pelayaran  antar  benua  diteruskan  ke  kawasan  Eropa, melalui  jalur jalur yang telah dikenal sejak abad pertama masehi inilah Sumatera menjadi lebih ramai di abad abad selanjutnya. Sebagai dampak dari hubungan antar bangsa ini, beberapa Bandar wilayah Sumatera bermunculan, seperti Lamuri (Banda Aceh) dan Perlak Aceh Timur)

Dampak lain dari komunikasi internasional tersebut adalah masuknya pengaruh tradisi besar di wilayah Sumatera yang dimulai dengan masuknya tradisi besar Hindu - Budha ( abad 1 - 5 Masehi), kemudian  dilanjutkan dengan tradisi Islam ( abad 7 – 13 Masehi). Sekitar abad pertama Hijrah (abad  ke 7 Masehi ) dalam frekuensi tidak terlalu besar Sumatera telah mengenal tradisi Islam, karena para pedagang muslim menggunakan Selat Malaka sebagai jalur perdagangan di Asia Timur. Ber- awal dari sinilah Islam masuk ke Sumatera, Sebagian sejarawan berpendapat bahwa Islam masuk ke Sumatera pertama kali pada Abad ke-13 M, bahkan di Indonesia melalui pesisir Sumatera Bagian Utara,  ada yang mengatakan di Jaya dan  ada yang mengatakan di Barus (Hasan Muarif Ambary, 1977, 15-19)
Khusus di daerah Pesisir Sumatera bagian Barat (Minang kabau) ada pendapat yang memperkirakan Islam masuk  pada abad ke 7. Hal ini dibuktikan adanya perkampungan muslim di Pesisir Barat dan Timur Minangkabau, pedagang muslim yang menyiarkan Islam berasal dari Gujarat, India, Persia dan Arab ( Literatur Musium Negeri Sumatera Barat dan Pengaruh Islam dalam keberagaman Sejarah dan Budaya Sumatera, Musium Negeri Jambi 15 – 22  Oktober 2008 ).Sedangkan Nuqaibal-Attas berpendapat bahwa Islam pertama  kali di sebarkan kepantai barat Minangkabau pada abad ke 12 oleh Syeikh Burhanuddin dari Ulakan Pariaman (H.Sukama Karya, 1996-197).
Tokoh Ulama Minangkabau Syekh Burhanuddin (Pariaman - Sumatera Barat, 1021 H - Pariaman 10 Syafar 1111/20 Juni 1704) merupakan putra Minangkabau  dari Ulakan - Pariaman  dikenal sebagai ulama besar.Pada saat kecil (usia 7 tahun) Syekh Burhanuddin yang memiliki nama kecil Pono oleh kedua orang tuanya dibawa merantau ke Sintuk.
Memasuki usia remaja Pono merantau  ke Tapakis untuk berguru dan menuntut ilmu agama kepada ulama besar “Yahyuddin yang lebih dikenal sebagai Tuanku Medinah (W.1043H). dan atas anjuran ulama itu Pono selanjutnya belajar kepada seorang ulama besar di Aceh yakni Syekh “Abdur Rauf Singkel”. Ia belajar agama Islam dari tahun 1043.H sampai 1073.H. Sebelum meninggalkan Aceh, Abdur Rauf mengganti nama Pono dengan Burhanuddin, yang artinya ”bukti agama”. Penggantian nama itu dilakukan dalam sebuah upacara yang dihadiri oleh teman teman seperguruan dan dipimpin lansung oleh Abdur Rauf. (Ensiklopedi Islam I. Penerbit Ichtisar Baru Van Hoeve-Jakarta-Hal 261- 262)
Syekh Burhanuddin menuju Ulakan dan mendirikan sebuah bangunan surau di Tanjung Medan, Ia berhasil mengembangkan agama  Islam di kalangan  masyarakat  Sumatera Tengah, Pengaruhnya paling besar dikalangan masyarakat di Pedalaman. Burhanuddin menganut paham ”Syattariyah”, dan karena  itulah”surau“ Ulakan di kenal sebagai Pusat Tarekat Syattariah. sampai sekarang Ulakan yang terletak di pantai barat Sumatera           ( disebelah utara Kota Padang ) mempunyai kedudukan yang khusus dikalangan masyarakat Sumatera Barat
Syekh Burhanuddin  secara fanatic dihormati oleh  para tokoh tokoh dan pengikut tarekat lain yang ada di daerah itu, misalnya Tharekat Naksyabandiah, Samaniah, dan Kadiriah.
         Mereka beranggapan bahwa ilmu ilmu agama yang dimiliki merupakan hasil tuntunan Syekh Burhanuddin yang disampaikan oleh para
oleh para murid muridnya yang telah berhasil mengembangkannya. Aliran Syattariyah berhasil dikembangkan sampai kepedalaman Minangkabau ( Sumatera Barat ).
Sedangkan masuknya Islam ke Jambi, menurut I-Tsing menjelaskan bahwa Jambi merupakan pusat Kerajaan Melayu dan berfungsi sebagai pelabuhan transito abad ke 7-8, Islam telah masuk ke Jambi melalui pantai timur, namun mereka hanya melakukan pelayaran dan perdagangan.
Dalam berita dari masa Dinasty Tang dan Arab, Sampai abad ke 10 M, Mubaligh Islam ada yang mendirikan perkampungan dan menikahi orang dari Kedah  dan  Kanton. Dari Kedah  para pedagang Islam berlayar menuju Siak-terus menuju ke Jambi dan Palembang (+/- Abad ke 16 M).
Sedangkan  masuknya Islam ke Kerinci dan Bangko melalui Sumatera Barat ( Minangkabau ) yang dimulai dari akhir abad ke 13/ awal abad ke 14 Masehi,  dan di Jambi Islam Berkembang pesat pada masa Kesultanan Jambi ( 1615 – 1906) yakni  pada masa Orang Kayo Hitam yang berlanjut sampai pada Pemerintahan Sultan Thaha Saifuddin (1855-1904) Islam  masuk ketanah Melayu Jambi melalui dua jalur, yakni jalur pertama melalui pantai timur Jambi karena berdekatan dengan Selat Malaka dan berkembang di daerah pantai Batanghari.
Sedangkan jalur kedua melalui alam Minangkabau, menyusuri pesisir pantai barat Sumatera arah keselatan  yakni  daerah Lunang, Pagaruyung, terus ke alam Kerinci, Kemudian turun ke tanah Merangin dan sebagian lagi terus ke Bengkulu. ( Dra.Nazurty Suhaimi,M.Pd- Penulis buku biografi Rotani Yutaka: Sang Pemimpin Imajiner, Penerbit Yayasan FORKKAT- Jambi 2000- Hal. 6-9). Masuknya Islam ke tanah Melayu Jambi sebenarnya telah dimulai sejak awal-awal abad ke tujuh Masehi, akan tetapi baru dianut oleh  orang  perorangan  dalam  kelompok  kecil.
Depati H. Amiruddin Gusti  -  86 tahun   ( wawancara Sungai Penuh : 9 : 10 :  2010 )  dan  Depati  Damhuri  Abdullah  - 75 Tahun ( Rawang : 8 : 3 : 2013 )  menyebutkan  sebelum  ajaran agama Islam memasuki kehidupan  masyarakat  alam Kerinci, pada masa itu adat masyarakat alam Kerinci banyak bersentuhan dengan pengaruh pengaruh dari luar seperti pengaruh agama Hindu - Budha dan kemudiaan Islam memperbaiki  hal hal  yang tidak sesuai dengan ajaran agama Islam, sejak  saat itu hubungan antara adat dengan agama Islam, dalam adat alam Kerinci di kenal dengan seloko: “Adat Bersendi  Syarak - Syarak Bersendi Kitabullah. Adat Berbuwul Sentak,- Syarak Berbuwul Mati. Adat boleh berubah, - Syarak tidak boleh berubah.”.
Kedatangan agama Islam di bumi alam Kerinci, membawa  pengaruh besar dalam perkembangan  adat dan kebudayaan di alam Kerinci, terjadi asimilasi antara ajaran agama Islam dengan adat dan kebudayaan  yang selama ribuan tahun dipedomani oleh penduduk asli suku Kerinci, setelah di kaji dan di undang terjadilah percampuran antara hukum agama Islam dan hukum adat, segala yang bertentangan dengan hukum agama Islam ditinggalkan.
Dari percampuran tersebut melahirkan seloko / motto yang dipedomani bersama yakni “Adat yang bersendi Syarak, Syarak bersendi Kitabullah“  Motto tersebut  hingga  saat ini dan akhir zaman tetap menjadi pedoman. Sumber dan cacatan sejarah lain mengungkapkan dapat dipastikan Islam telah menyebar secara luas  dan dianut oleh masyarakat di  alam Kerinci sekitar abad ke 15 - 17 Masehi, menurut sumber, sejarah wilayah alam Kerinci merupakan wilayah terakhir atau daerah  yang paling baru menerima ajaran Islam, meskipun pada abad sebelumnya pernah dikabarkan bahwa para pendatang pada akhir abad ke 13 mulai melakukan kontak melalui kontak perdagangan, pemeluk agama Islam pada masa itu masih bersifat perorangan atau kelompok kecil yang belum menyebar secara luas ditengah masyarakat suku Kerinci.
Bukti yang menunjukkan bahwa agama Islam baru berkembang secara luas di alam Kerinci pada abad ke 15-17 dapat kita lihat dengan masih sangat erat  masyarakatnya  yang  memegang adat serta budaya tradisi animisme dan perpaduan dengan ajaran Hindu, bahkan  hingga saat ini disejumlah dusun dusun di daerah pinggiran masih dapat kita jumpai pengaruh budaya animisme dan pengaruh Hindu- Budha.
Catatan lain menyebutkan bahwa ajaran agama Islam dibawa oleh para pedagang dari Arab, Gujarat, Mataram Islam dan Aceh serta ulama dari Minangkabau yang telah terlebih dahulu menerima ajaran Islam, Beberapa bukti kuat menunjukkan bahwa masyarakat suku Kerinci menerima ajaran Islam dari Aceh adalah adanya  tradisi ratib saman, Ratib Saman tidak hanya ada di daerah Kerinci, akan tetapi juga tumbuh dan berkembang dengan subur di daerah Aceh yang mereka sebut dengan tari Saman, tradisi lain adalah tradisi Magang menjelang hari hari besar agama Islam juga ada di alam Kerinci  yang tampak dengan jelas berasal dari tanah Aceh yang biasa mereka sebut dengan Meugang.
Untuk memasuki alam Kerinci para ulama ulama menyebarkan  agama Islam menempuh tiga jalur \ lawang yakni: Jalur pertama adalah Lawang Surat Lipat yakni melalui alam Minangkabau - Sungai Pagu - Koto Limau Manis ( sekarang termasuk  Kecamatan Gunung Tujuh-Kerinci) dalam sejarah adat Tigo Luhah Tanah Sekudung  disebut  sebagai jalan Mangkudum yang tigo orang yaitu Mangkudum Semat. Mangkudum  Sati dan Mangkudum  Darat.
Dan Jalur kedua yakni lawang Surat Penggan yaitu dari wilayah  Inderapura ( Kesultanan Inderapura) terus ke Bukit Tambun Tulang kemudian ke Koto Limau Sering di Sungai Penuh, Jalan ini disebut jalan Tuanku Sultan Muhammadsyah berdarah putih dari Inderapuro. Sedangkan Jalur ketiga ialah Lawang surat Cermin  yakni dari Jambi kemudian ke Temiai terus ke Sandaran Agung, jalan ini disebut jalan Pangeran Temenggung Kabul di Bukit.
Berdasarkan naskah-naskah kuno dan cerita lisan dan penuturan tokoh tokoh masyarakat menyebutkan di alam Kerinci terdapat beberapa orang tokoh yang mengembangkan agama Islam masing masing yakni  Siak  Jeli  atau  Imam Jeli, menyebarkan agama Islam di wilayah  Siulak, dan bukti sejarah terdapat makam Siak  Jeli di Koto Jeli ( Dusun Tinggi – Siulak)
Salah satu peninggalan beliau adalah batu sembahyang yang terletak di bukit sembahyang serta batu Jung di wilayah Koto Jering. Selain itu di daerah  Siulak juga dikenal beberapa Imam  penyebar  agama Islam yakni Imam  Bsa ( Syekh Imam Besar) di Siulak Panjang, Imam Mikraj, Imam Madukun, Imam Beruji di Siulak Mukai
Pada  Perjanjian di Bukit Sitinjau Laut dihasilkan beberapa kesepakatan, dan selain itu, juga diambil sebuah kesimpulan yakni” anak cucu dari Siak Lengih, yaitu Depati (Kiyai) Nan Bertujuh, sebagai Pegawai Rajo, Pegawai Jenang yang di juluki ” Suluh Bindang Alam Kerinci”, hal ini dengan alasan Nenek Siak Lengih di yakini sebagai salah satu orang pertama yang mengembangkan agama Islam  di  Kerinci, Kepada Depati (Kiyai) Nan Bertujuh  inilah  tempat orang bertanya  mengenai  agama Islam
Pada tulisan Incung yang tertulis pada tanduk yang tersimpan di Koto Beringin Rawang dan Tanah Kampung disebutkan bahwa Sigindo Panjang adalah menantu Nenek Siak Langin (Siak Lengih) atau dikenal dengan nama “Syekh Samilullah”.
Dampak  positif dari pertemuan  Sitinjau Laut tersebut, maka ketiga  daerah  itu yakni Kerinci, Jambi Minangkabau  menjadi damai dan  tenteram, dan hingga saat ini piagam hasil  perdamaian  tersebut masih dipegang teguh dan menjadi pedoman bagi ketiga pemerintahan didaerah tersebut.(Nrl BJ/Rita)

Posting Komentar Blogger

 
Top